Tidur siang kali ini, Muadz terbangun tiba-tiba. Dia langsung duduk dan memanggil “maah..” Aku lambaikan tangan memintanya mendekat.
Muadz beringsut ke kasurku dan merebahkan tubuhnya di sampingku. Hmm aku mencium bau tak sedap, sepertinya dia buang angin.
Aku sengaja membiarkannya. Pura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Hingga bocah kecil itu mengatakan, “mah mau ee”
****
Di atas kloset dia sudah mengeluarkan tinja. Namun perasaan tak nyaman menyergapnya dan tantrum pun dimulai.
“Mah, mana ee nya? Kok belum keluar”
Ada sayang, ee nya ada di dalam perut Muadz. Ayo tekan perutnya biar keluar ujarku tenang.
“Enggak, gak bisa. Gak mau, gak mau”
Wah, kata andalannya sudah keluar. 😅 Dia lagi senang mengucap ‘gak mau’ karena meniru anak tetangga.
Tak ada pilihan lain selain menunggunya dengan sabar. Diberi pilihan apapun hingga bikin jus mangga kesukaannya pun ditepis.
Di kejadian sebelumnya, aku coba menenangkan dengan mengusap punggung Muadz. Rupanya itu tidak dianjurkan guruku karena memang gak ngefek sih. Haha. Selain itu khawatir bikin kebiasaan baru yang unfaedah.
Kalo ibu meninggal 5 menit lagi, siapa yang akan ngusap punggung Muadz saat dia tantrum ketika BAB nanti? Kurang lebih ini pertanyaan menohok dari guruku kalau kalau saat itu aku menolak sarannya.
Ya, ada benarnya juga sih. Anak hanya perlu diterima dan ditemani saat badai tantrum melanda.
Buktinya setelah 20 menit jongkok di kloset, Muadz bangun sendiri saat aku beri opsi pelukan. Alhamdulillah..